PANTASKAH AL-ALBANI DISEBUT AHLI HADITS ? ATAU HANYA PEMBACA BUKU?

13/10/2011 17:38

PENGAKUAN ALBANI BAHWA DIA BUKAN PENGHAFAL HADITS TETAPI HANYA PEMBACA BUKU:

Suatu ketika ada seorang pengacara (muhami) yg mengikuti majlis ilmu albani brtanya kpdnya:

"Engkau seorang Muhaddits??"

"Ya!" jwb albani.

"bisakah engkau meriwayatkan padaku 10 hadits yg sanadnya sambung menyambung sampai Rasulullah saw?"

Albani menjawab:

أنالست محدث حفظ بل محدث الكتاب

"aku bukanlah muhaddits yg hafal hadits tp aku hanyalah muhaddits kitab"

si penanya pun mengomentari:

"Kalau begitu saya pun bisa menjadi muhaddits kitab (buku)"

Albani terdiam seketika mndengar jwban si penanya.

Lihat:
[1.] Tabyin Dhalalat Albani syeikh wahabiyah al muhaddits karya syeikh Abdullah al harari hal.6
[2] https://alharary.Com/vb/t12649.html
[3] https://www.attaweel.com/vb/t19486.html
[4] https://madeena.org/vb/showthread.php?t=47399
[5] https://www.alsunna.org/maa-raykm-baalshykh-aalalbaany-wahl-tetbrwanh-mHdthaa.html

 

PANTASKAH AL-ALBANI DISEBUT AHLI HADITS ?

Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:

“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).

 

Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah ‘Para Muhaddits’ generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi, Imam Ibn Hibban dan lain-lain.

 

Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk Ghuluw -pent) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk -pent) dengan sebagian Syeikh yang tidak pernah menulis hadits, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadits atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadits yang mencapai seribu karangan lebih !?!!. Sehingga bukan Sunnah Nabi yang dibela dan ditegakkan, malah sebaliknya yang muncul adalah fitnah dan kekacauan yang timbul dari pekerjaan dan karya-karyanya, sebagaimana contoh-contoh diatas.

 

Ditambah lagi dengan munculnya sikap arogan, dimana dengan mudahnya kelompok ini menyalahkan dan bahkan membodoh-bodohkan para Ulama, karena berdasar penelitiannya (yang hasilnya (tentunya) perlu dikaji dan diteliti ulang seperti contoh diatas), mereka ‘berani’ menyimpulkan bahwa para Ulama Salaf yang mengikuti salah satu Imam Madzhab ini berhujah dengan hadits-hadits yang lemah atatu dhoif dan pendapat merekalah yang benar (walaupun klaim seperti itu tetaplah menjadi klaim saja, karena telah terbukti berbagai kesalahan dan penyimpangannya dari Al-Haq).

 

Oleh karena itu para Ulama Salaf Panutan Umat sudah memperingatkan kita akan kelompok orang yang seperti ini sebagai berikut:

Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadits yang bermadzhab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadits (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadits yang bertentangan dengan madzhab Abu Hanifah, lalu berkata buang- lah madzhab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadits Rasulallah saw.. Padahal hadits ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanad nya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkan- nya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya  maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.

 

Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata: ”Seorang tidak dianggap memahami hadits kalau ia mengetahui mana hadits yang harus diambil dan mana yang harus ditinggal kan”.

 

Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata: ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadits dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘Ambillah dan tinggalkan itu’ ”.

 

Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadits) serta mempelajarinya?, Mereka menjawab: ‘Ya’, Beliau berkata: Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadits ini dan Allah menjadi- kannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajari- lah lebih dalam”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal. 28.

 

Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal.15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata: ”Perhatikan hadits yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.

 

Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:

a. Umar bin Khattab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan yang diamalkan.

 

b. Imam Malik berkata: ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadits-hadits, lalu disampaikan kepada mereka hadits dari orang lain, maka mereka menjawab: ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini’ ” .

 

c. Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya: ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadits begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamal annya tidak seperti itu’ ” .

 

d. Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang di amalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadits yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang ter- percaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.

 

e. Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadits sesungguhnya mengikuti hadits shohih jika hadits itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.

 

Sehingga cukuplah hadits dari Baginda Nabi saw. berikut ini untuk mengakhiri kajian kita ini, agar kita tidak menafsirkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya: Artinya : ”Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau saw. menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak” (HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).

 

NB: (kemudian Syeikh Seggaf meneruskan dengan beberapa wejangan yang penting, demi keringkasan sengaja tidak diterjemahkan , tetapi bila orang ingin merujuknya bisa lihat bahasa Arabnya). Dengan karunia Allah, ini telah cukup dari buku-buku Syeikh Seggaf untuk meyakinkan siapa saja yang mencari kebenaran, biarkan orang-orang itu sendiri  bersama-sama mengetahui sedikit tentang ilmu hadits. Perhatikan peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut: ”Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama, golongan yang tenggelam dalam ra’yu dan berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh ” (menyampai- kan hadits, tetapi tidak mengetahui isinya -pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz IIhal. 171).

 

Syeikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam I’lamu Al-Muwaqqi’in juz Ihal. 44, dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: ”Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi saw. perbedaan sahabat dan tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat meng- amalkan dengan benar”. Allah  Maha Mengetahui. Demikianlah sebagian kecil (seleksi) isi buku Syeikh Segaf tentang kesalahan-kesalahan Al-Albani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Syeikh Nuh Ha Mim Killer dan kawan-kawan yang kami terjemahkan dan susun kedalam bahasa Indonesia secara bebas.

 

Sumber: Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi (oleh: A. Shihabuddin)