Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir

13/10/2012 15:04

By T. Muhammad Syuhada Tulisan ini kami persembahkan buat mereka yang tiap minggu Dauroh kajian Tafsir Ibnu Katsir,  tapi pemahaman mereka justru berbeda dengan kajian-kajian mereka, parah  nya penyakit Tasybih yang sudah mendarah daging dalam keras nya hati  mereka, membuat mereka sulit menerima fakta kebenaran nya, dan membuat  mereka tidak bisa menyadari bahaya besar yang sedang menjerat akidah  mereka, hendak nya tulisan ini menjadi semangat baru bagi mereka agar  kembali membuka kembali kajian mereka dan semoga tulisan ini menjadi  pertimbangan dalam kajian ulangan nanti nya. Kesalahan mereka dalam memahami hakikat Manhaj Salaf telah menjadikan mereka sebagai fitnah agama ini, sebagai bukti mari lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang “Istawa” atau tentang bab Mutasyabihat umum nya, dan bagaimana hakikat Manhaj Salaf versi Ibnu Katsir akan kita pahami di sini. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54 sebagai berikut :وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر". وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :“Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ }  maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di  sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus  Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad  dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain  mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab  Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan  tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan  dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir  (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah,  karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari  makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia  maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan  masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah  Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang  siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah  kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan  (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada  penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah  dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah  taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan  Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala,  dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia  telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]Perhatikan scan kitab di bawah :
Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا“maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih  yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan  imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka  dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf  saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin  sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain  mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.
وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله“dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan  ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan  kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa  ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam  hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran,  artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis  ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa  menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan  terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna,  dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu  sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau  lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang  terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan  nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak  diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena  telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran,  sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna  tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis  dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan  maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada  pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah,  otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu  Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin”  kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan  makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan  makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para  Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa  makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan  keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah  menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.
فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }“karena sesungguhnya Allah tidak serupa  dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang  serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS  Asy-Syura ayat 11]”Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak  serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat  asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit  keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.
بل  الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من  شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر"“bahkan masalahnya adalah sebagaimana  berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru  al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan  makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang  mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka  sungguh ia telah kafir”.Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang  tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para  ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari,  ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,  maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat  yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah  kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang  beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam  makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk  dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna  dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman  dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf,  sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat  ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini  adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.
وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه“Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam  Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara  pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan  kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang  Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk  sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka  makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada  nya terdapat keserupaan.
فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.“maka barang siapa yang menetapkan bagi  Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat  Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan  Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka  sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan  bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih  yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih  dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang  shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah  dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah  segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan  dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.Wallahu a’lam

Topic: Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir

No comments found.

New comment